"Nagur Page Waris Samadiatn' Nang Jauh"

Kamis, 06 Maret 2008

Punahnya Keagungan Tuhan

Pada akhir tahun 1960-an, pemerintah Orde Baru memulai pembalakan besar-besaran untuk mendapatkan modal guna program pembangunan ekonomi. Produksi kayu melonjak. Bersamaan dengan itu, makin luas pula hutan yang terbuka dan rusak. Hutan hujan tropik lembab yang lebat dengan tajuk yang tertutup berubah menjadi semak belukar dan padang alang-alang.

Tingkat kelembaban turun. Pada musim kemarau, semak belukar dan alang-alang mengering. Seresah dan gambut mengering. Bahan organik yang mengering itu merupakan bahan bakar yang ideal. Maka, pada tahun 1982, 15 tahun setelah pembalakan besar-besaran, kita dan dunia dikejutkan kebakaran hutan yang amat luas di Kalimantan. Sekitar 3,5 juta hektar hutan terbakar. Sulit dipercaya, hutan hujan tropik dapat mengalami kebakaran. Setelah itu kebakaran besar berulang dengan frekuensi makin tinggi. Kini setiap musim kemarau dapat dipastikan terjadi kebakaran hutan besar. Namun, kita tidak mau belajar dari pengalaman. Pembalakan hutan dan pembukaan hutan kian meninggi untuk dijadikan hutan tanaman industri dan perkebunan. Celakanya, pembukaan hutan banyak dilakukan menggunakan api, sebuah metode murah yang efektif. Mengingat bahan bakar tersedia dalam jumlah besar dalam bentuk seresah, semak belukar, alang-alang dan gambut kering di daerah luas, pembakaran berubah menjadi kebakaran hutan dan lahan yang tak terkendali. Ditambah lagi, dibanyak tempat ada batu bara di lapisan tanah atas yang juga merupakan bahan bakar yang bagus. Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah yang menyebabkan kerugian lingkungan hidup, material, dan kesehatan?

Pertama, penegakan hukum. Mereka yang membuka lahan dengan membakar hutan dan belukar harus ditindak. Dari citra satelit tampak jelas, titik api banyak di areal perkebunan. Sejak Sarwono menjadi Menteri Lingkuan Hidup, hal ini telah terungkap. Selama hukum tak ditegakkan, kebakaran hutan dan lahan akan menjadi rutinitas tahunan musim kemarau.

Kedua, semak belukar dan alang-alang harus direhabilitasi menjadi hutan hujan tropik. Sejak tahun 1960-an pemerintah telah berusaha melkukan reboisasi dan penghijauan. Usaha ini mengalami kegagalan. Lahan kritis di dalam dan di luar hutan tidak berkurang, tetapi terus bertambah. Dalam hal ini kita tidak mau belajar dari pengalaman. Sistem reboisasi dan penghijauan menggunakan metode yang pada prisipnya tidak berubah. Paling-paling dengan modifikasi community based. Pada tingkat proyek community based reboisasi dan penghijauan dapat berhasil. Akan tetapi, saat diterapkan pada skala luas, tingkat keberhasilannya amat rendah. Penduduk tidak mendapat keuntungan apa pun. Hutan dan lahan rusak lagi. Ini akan dapat berhasil apabila ada penegakan hukum yang tegas terhadap oknum-oknum perkebunan besar dan hutan tanaman industri yang melakukan pembukaan lahan dengan pembakaran yang dengan mudah akan merambat ke hutan dan lahan peserta pseudo-Protokol Kyoto. Penduduk tak akan berdaya menghadapi mereka yang mempunyai modal dan beking yang kuat.

Hutan yang dibuka tidak luas. Mengingat kepadatan penduduk rendah, ladang terpencar di antara bentangan hutan luas. Hutan hujan tropik hijau sepanjang tahun dengan tajuk yang menutup. Kelembaban dalam hutan tinggi. Seresah dan gambut dalam hutan itu pun lembab dan basah. Hampir tak ada bahan organik yang mudah terbakar. Kapan kerinduan seperti ini kita dapatkan dan rasakan lagi ?

0 komentar: