"Nagur Page Waris Samadiatn' Nang Jauh"

Kamis, 10 April 2008

12 ciri insan jadi sahabat



Bapak dan ibu adalah orang yang paling bahagia dengan keberhasilan anak selama bertahun-tahun bergelut didunia pendidikan. Tidak kurang juga yang merasa bimbang kehidupan baru yang bakal ditempuhi anak dikemudian hari. Kini anak seorang diri menimba ilmu dengan kehidupan dengan kawan baru. Mereka bimbang anak tidak dapat menyesuaikan diri dan mungkin salah pergaulan serta memilih teman.

Oleh karena itu kita berhati-hati dalam memilih siapa yang harus dijadikan sahabat. Kehidupan setiap manusia memerlukan seseorang untuk dijadikan sahabat. Tidak ada sesiapa pun yang mampu hidup tanpa mempunyai kawan, Pilihan yang bijak bukan sekadar ketika ingin mendirikan rumah tangga, tetapi juga dalam memilih sahabat. Apakah ciri-ciri seorang sahabat yang baik? Kadang orang tua berpesan kepada anak lakinya. Untuk itu ada kiat tertentu sebagai tolak ukur kita memilih seorang sahabat, yaitu :
1) Jika engkau berbakti kepadanya, dia akan melindungi kamu
2). Jika engkau rapatkan persahabatan dengannya, dia akan membalas

balik persahabatan kamu
3). Jika engkau memerlukan pertolongan daripadanya, dia akan

membantu kamu
4). Jika engkau menghulurkan sesuatu kebaikan kepadanya, dia akan

menerimanya dengan baik
5). Jika dia mendapat sesuatu kebajikan (bantuan) daripada kamu,

dia akan menghargai atau menyebut kebaikan kamu
6). Jika dia melihat sesuatu yang tidak baik daripada kamu, dia akan
menutupnya
7). Jika engkau meminta bantuan daripadanya, dia akan

mengusahakannya
8). Jika engkau berdiam diri (kerana malu hendak meminta), dia akan

menanyakan kesusahan kamu
9). Jika datang sesuatu bencana menimpa dirimu, dia akan meringankan
kesusahan kamu
10). Jika engkau berkata kepadanya, nescaya dia akan membenarkan

kamu
11). Jika engkau merancangkan sesuatu, nescaya dia akan membantu

kamu
12). Jika kamu berdua berselisih faham, nescaya dia lebih senang

mengalah untuk menjaga kepentingan persahabatan.

Orang yang setiap masa bekerja untuk keperluan kamu. Sanggup mengorbankan segala-galanya untuk kepentingan kamu." Ada juga yang berpesan: "Sesiapa yang suka berkawan, tetapi tidak suka melebihkan kawan daripada diri sendiri, maka lebih baik dia berkawan dengan ahli kubur!". Marilah bersama-sama kita periksa diri masing-masing apakah layak menjadi sahabat sejati atau hanya layak menjadi kawan kepada ahli kubur. Siapakah sahabat paling rapat yang pernah kita miliki? Bagi seorang anak, sahabat yang paling rapat adalah orang tua, anak adalah sahabat yang paling akrab dengan mereka.

Bagi seorang isteri, suami adalah sahabatnya dan begitu juga bagi suami, isteri adalah yang sepatutnya menjadi sahabat karib mereka. Cuma persoalannya di sini, selepas kita mengetahui akan ciri-ciri seorang sahabat dan siapakah sahabat akrab kita, apakah sudah terlaksana persahabatan itu? Sudahkah kita menjadi sahabat kepada anak dan kedua orang tua kita? Seorang remaja memilih remaja lain sebagai sahabatnya dan seorang bapak pula memilih bapak lain sebagai sahabatnya. Sebenarnya, bukan kita tidak boleh memilih orang lain untuk menjadi sahabat, tetapi perlulah bijak memilihnya. Jangan salah pilih.

Sahabat yang baik umpama penjual kasturi, yang mana wanginya akan tetap terpercik kepada kita, namun sahabat yang jahat akan membalik kejahatan itu kepada kita. Jadilah insan yang bijak dalam memilih orang yang boleh dijadikan sahabat.

Read More..

Pendidikan Agama Kunci Kekuatan Remaja



Persoalan mengenai remaja banyak diperdebatkan. Malangnya, hampir setiap pembicaraan isu remaja hanya berkisar masalah keruntuhan akhlak dan moral. Isu lain yang lebih penting kurang diberi perhatian. Semua isu ini mendominasi remaja hingga kita tidak nampak lagi kebaikan golongan itu.

Sebaliknya, masyarakat seakan-akan lupa untuk menyalurkan simpati dan keprihatinan dalam menangani masalah remaja. Kita lebih senang membiarkan masalah remaja ditangani oleh ibu bapa mereka sendiri. Keadaan ini berlaku kerana menganggap itu masalah pribadi sebuah keluarga dan sepatutnya diselesaikan oleh keluarga sendiri. pembangunan remaja saat ini adalah agenda penting yang perlu diberi perhatian serius oleh semua pihak. Sebuah Negara akan runtuh dan tercoreng dimata dunia.


Hampir semua isu keruntuhan moral bertitik-tolak kepada kepincangan didikan agama. Kecanggihan perkembangan teknologi yang melampaui batasan, muzik yang melalaikan serta sosio seksual di luar kendali. Sebenarnya, kemelut yang melanda remaja berpuncak dari kepincangan didikan agama dan moral. Masalah ini bukan saja melanda remaja, namun merambak didalam keluarga dan masyarakat.

Kegagalan keluarga memainkan peranan sebagai ‘role model’ (teladan) yang semangkin menyeret remaja jauh terpisah dari kebenaran dan kesadaran. Kegagalan keluarga, masyarakat dan pemerintah menangani isu remaja merupakan runtuhnya regenerasi pembangunan bangsa dan negara tercinta ini, jika hal ini dianggap sepele. Sehingga kita harus memulai dari hal yang kecil dilingkungan keluarga , masyarakat agar tdak terjebak kedalam masalah sosial yang tidak baik.

Andainya masyarakat melihat remaja sebagai aset negara pada masa depan pasti mereka tidak akan menyeret mereka kekebinasaan. Mereka sepatutnya berusaha menghapuskan gejala sosial yang melanda masyarakat dan negara.

Read More..

Rabu, 02 April 2008

Pluralisme dan Kerukunan yang Semu

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat plural agama dan budaya. Jumlah pemeluk agama menunjukkan angka kuantitatif yang sangat mengesankan. Demikian pula tempat peribadatan jumlahnya meningkat tajam menjadi lebih dari 660 ribu buah. Jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun juga meningkat. Fakta ini membuktikan agama selain telah menyejarah, juga telah membudaya dan melembaga. Meskipun Indonesia bukan negara agama, tapi realitas masyarakat yang agamis menjadikan negara berkepentingan terhadap terciptanya tata kehidupan beragama yang berkualitas, harmonis dan toleran. Meskipun demikian, sebelum tahun 2000, agama sering diletakkan dalam posisi yang tidak proporsional.

Agama dieksploitasi dan dijadikan alat legitimasi politik dan kekuasaan. Intervensi negara terhadap agama telah memunculkan ketegangan-ketegangan mubazir antara negara dan masyarakat agama di satu sisi dan antara masyarakat agama yang satu dan masyarakat agama yang lain. Eksploitasi dan intervensi tersebut juga berakibat pada lahirnya ekspresi keagamaan yang timpang dan destruktif. Kemajemukan agama perlu mendapatkan perhatian serius, karena sangat potensial memicu konflik dan memunculkan disintegrasi. Program pluralisme dalam bentuk kerukunan antarumat tampaknya masih sebatas wacana intelektual dan politis. Pentingnya dialog dan hubungan harmonis umat beragama belum mampu menyentuh kesadaran kolektif masyarakat dan masih sebatas wacana formal. Indikatornya masih rentannya masyarakat agama terhadap isu-isu agama dan SARA serta masih maraknya konflik agama. Partisipasi kaum agama dalam menyelesaikan konflik sosial juga belum berada dalam level aliansi aksi dan konseptual strategis. Mereka lebih sering berpidato dari pada beraksi, apalagi terlibat dalam penelitian mengenai pluralisme dan kedamaian sosial. Karena itu mereka lebih banyak mengkambinghitamkan sebuah fenomena tanpa memberi solusi konkrit dan jauh dari pendekatan empatik.

Sangat memilukan, masyarakat yang relijius sedang terpuruk dalam himpitan krisis dan terbelakang. Pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas terbukti telah meruntuhkan sendi-sendi moral dan etika. Kenyataan ini sudah sewajarnya dibaca sebagai kegagalan pembangunan di bidang etika dan budaya. Agama yang seharusnya memberikan sumbangan tidak mampu memberikan landasan etis bagi penciptaan manusia berbudi luhur. Ajaran agama sering dipisahkan dari kepedulian sosial dan lingkungan. Solidaritas sosial, dialog lintas agama belum mewarnai budaya masyarakat. Dengan demikian dialog tentang pluralisme tidak pernah mengalami kadaluwarsa. Kontrol sosial demikian melemah dalam sosio-relijus budaya kita karena elite terlalu menyatu dengan kekuasaan serta umat terbiasa dalam ketidakjelasan dan budaya pasif. Kontrol sosial yang lemah pada dasarnya juga diakibatkan oleh ketidakseimbangan pemahaman ajaran hubungan vertikal dan koneksi horizontal. Karena ajaran yang terakhir tidak populer maka masyarakat kita sudah terkondisi dalam tradisi dan suasana yang membiarkan korupsi melembaga. Penyebab korupsi total dan sistemik ini di antaranya disebabkan penghayatan agama yang lebih mementingkan seremoni di atas substansi dan fungsi, ritual di atas kekhusyukan pribadi, serta kesalehan pribadi di atas kesalehan sosial dan kelaparan rakyat. Dengan kata lain masih tampak jelas fenomena keberagamaan yang sering memilah-milah kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, serta berekonomi. Dasarnya dikategorikan :

1. Lemahnya posisi masyarakat, menipisnya percaya diri, dan menguatnya tribalisme baru serta kelompok status quo. Dalam konteks ini perlu direnungkan ucapan Adam Michnik, pemimpin gerakan solidaritas Polandia, yang mengungkapkan realitas setelah the first flush of euphoria di Polandia, persis suasana “ngemaruki” dalam dunia politik Indonesia setelah Orde Baru.

2. Kultur bisu, serta memudarnya kritisisme masyarakat yang mengakibatkan konsep kontrol belum berjalan fungsional. Hal ini dikarenakan sistem nilai yang cenderung pasif dalam dimensi politik dan budaya.

3. Budaya kekerasan, menghakimi sendiri sudah melembaga. Budaya lisan dan tangan agaknya lebih dominan dari “budaya mata dan telinga.” Di negeri ini kebiasaan memukul bisa ditemukan di mana-mana. Sangat berbahaya jika budaya ini dicoba pencarian justifikasinya dalam sandaran agama. Agaknya di negara ini, kekuatan tangan untuk memperingatkan orang lain, lebih sering ditempuh dari peringatan melalui dialog dan akal sehat. Barangkali karena filsafat individualisme yang berkembang di Barat, hak-hak seseorang sangat dijunjung tinggi. Sebaliknya karena pengaruh budaya collectivism, “mangan ora mangan kumpul” posisi individu sering tidak terperhatikan dan nyawa semakin menjadi murah. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat ternyata sering belum menjangkau kehidupan sosial sehari-hari karena keselamatan mereka masih sering terancam.

4. Sikap feodal yang merupakan warisan keraton dan penjajah masih ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Mengingat kolonialisme dan keratonisme sudah mengakar, beberapa aspek negatif terwarisi. Feodalisme membudaya, demokratisasi terhambat. Padahal demokrasi secara fungsional seharusnya menjadi kosa kata rakyat kecil bukan milik politisi wakil rakyat yang takut sama rakyat, sebagaimana tulisan ahli politik Amerika Diane Ravitch.

Read More..

Budaya Kolektif

Orang Dayak berpandangan bahwa alam ini adalah rumah bersama bagi semua makhluk, termasuk makhluk-makhluk yang tidak kelihatan. Karena itu, manusia tidak boleh memonopoli alam untuk kepentingan manusia semata. Atas prinsip inilah, unsur-unsur alam yang berseberangan dengan kepentingan manusia tetap harus diberi tempat untuk eksis.

Makhluk-makhluk yang biasanya mengganggu kehidupan manusia seperti setan dan hantu juga diberi makan bilamana ada ritual yang berhubungan dengan hal tersebut diadakan. Harap diingat, bahwa memberi makan setan atau hantu tidak sama dengan ‘menyembah’ setan atau hantu; sama seperti jika kita memberi makan ayam, tidak berarti menyembah ayam. Intinya adalah, hubungan yang harmonis dengan semua unsur alam harus dipertahankan dengan memperlakukan semuanya secara proporsional dan adil, tidak dengan cara diskriminatif. Sebab semua yang ada di alam merupakan ciptaan Yang Maha Kuasa. Jika Yang Maha Kuasa saja memberi kesempatan bagi semua makhluk, apalagi manusia.


Prinsip kebersamaan dalam budaya Dayak ini tidak main-main. Ada pepatah Dayak yang mengatakan, ‘Anjing saja diberi makan, apalagi manusia’. Ada juga pepatah lain yang mengatakan, ‘Sesama saudara diajak makan, tamu diberi beras’. Maksudnya adalah penghormatan terhadap keberadaan manusia seperti apa adanya. Seorang tamu yang belum diketahui secara persis latar belakangnya, mungkin memiliki cara-cara makan yang berbeda dengan orang Dayak sehingga memberikan ‘bahan makanan’ dianggap sebagai keputusan yang paling bijaksana agar sang tamu dapat mengolah makanan dengan cara yang sesuai dengan keadaannya. Semangat kebersamaan orang Dayak itu secara efektif dapat pula kita lihat dalam berbagai perang antaretnis yang terjadi di Kalimantan.

Dalam kondisi geografis yang terpencar-pencar di pedalaman serta sarana komunikasi dan transportasi yang sangat tidak memadai, orang Dayak dengan mudah berkumpul. Mangkok Merah yang sering dipublikasikan sebagai sarana komunikasi orang Dayak itu, bukan merek handphone. Ia cuma sebuah mangkuk dengan beberapa tetes darah ayam, sepuntung rokok, selembar bulu ayam, dan secarik daun kajang yang biasa dipakai sebagai bahan untuk membuat atap rumah. Mangkuk itu diedarkan dari kampung ke kampung dengan berjalan kaki dan berlari, bukan melalui pesan e-mail. Dengan cara itu, orang Dayak sudah akan berkumpul secara cepat dan dalam jumlah yang fantastis.

Read More..

Budaya Rumah Panjang



Seandainya budaya rumah panjang orang Dayak tidak dihancurkan dan dibiarkan hancur menjelang akhir 1960-an dan awal 1970-an, perang antaretnis yang marak belakangan ini akan lebih mudah dicarikan solusinya. Setiap rumah panjang yang terdiri dari puluhan KK itu (ada yang ratusan juga), memiliki seorang pemimpin atau Tuan Rumah. Peranan Tuai Rumah tidak seperti Kepala Adat sekarang yang dijadikan bawahan Kepala Desa (Gabungan) dan mengantongi SK dari bupati, meskipun di banyak tempat usaha ini tidak selalu efektif untuk memorak-porandakan kepemimpinan beberapa kepala adat yang ada.

Tuan Rumah adalah pemimpin sejati yang berurat-berakar di komunitasnya, Komunitas Rumah Panjang. Ia memiliki akses terhadap aktivitas semua anggota komunitasnya termasuk apa yang mereka rasakan, inginkan, dan ekspresikan. Tindakan seorang warga komunitas pastilah diketahui oleh Tuan Rumah dan omongan Tuai Rumah didengarkan oleh warganya. Sangat kontras dengan omongan para tokoh adat sekarang yang kebanyakan tidak dihiraukan oleh komunitasnya.

Warga komunitas rumah panjang yang bergerombol atau berkumpul dengan tujuan untuk melakukan sesuatu pun pasti sepengetahuan Tuan Rumah. Jadi, legitimasi kepemimpinannya jelas sehingga orang Dayak tidak mesti mencari-cari pemimpin lain seperti para panglima yang menjadi gejala umum sekarang (dan mulai menular ke etnis lainnya). Aparat keamanan dan para penegak hukum pun tidak usah repot-repot mencari provokator atau dalang, jika sesuatu terjadi.

Agar dapat melestarikan nilai-nilai budaya rumah panjang tersebut, dibutuhkan lingkungan fisik dan sosial yang mendukungnya. Rasa kebersamaan, saling percaya, dan semangat solidaritas yang sangat kuat dalam komunitas rumah panjang tidak bisa dibangun dari pintu ke pintu rumah warga yang tunggal seperti sekarang di bawah koordinasi Pak RT. Sebab untuk berkumpul dalam sebuah pertemuan saja, orang Dayak sekarang menuntut diberi surat undangan resmi dan tertulis, jika tidak, banyak di antara mereka tidak mau datang karena malu merasa tidak diundang. Jadi, budaya rumah panjang menjamin adanya akses komunikasi yang efektif dan kepemimpinan yang jelas. Dua aspek ini sangat penting dalam proses penanganan sebuah konflik yang sedang terjadi.

Read More..